Cerdas Mencerahkan

Selasa, 14 Mei 2013

Sinopsis Novel Mekar Karena Memar Karya Alex L Tobing


Herman, salah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran, begitu menggebu-gebu perasaannya ketika ia dinyatakan lulus ujian tingkat pertama. Sebab, selanjutnya ia harus menekuni pelajaran yang lebih mendalam di tingkat dua. Akan tetapi, saat-saat ia mengikuti kegiatan belajar di tingkat dua, khususnya terhadap mata kuliah Praktikum perasaannya menjadi gamang. Rasa gamang itu dialaminya ketika ia berada di ruang bedah, berhadapan dengan tubuh manusia yang telah terbaring kaku dan siap diporak-porandakan oleh tangan calon dokter. Mayat-mayat itu umumnya adalah mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diambil oleh keluarganya, dan tidak seorang pun yang mau mengakuinya setelah beberapa hari berada di kamar mayat. Maka untuk selanjutnya, bebaslah tangan-tangan yang kelak akan menyandang dokter ahli bedah, menyobek atau mengeluarkan isi tubuh sesuai dengan keperluan mereka. Disitulah Herman pertama kali berkenalan dengan harga manusia; sebuah kepala (tengkorak) dapat diperjualbelikan dengan harga hanya Rp 40,00 pada saat itu. Betapa tidak berharganya manusia ketika tubuh telah terpisah dengan nyawa. Di samping itu, mayat-mayat itu tidak pernah menyatakan protes, walaupun salah satu anggota tubuhnya telah menjadi hiasan dalam sebuah lemari kaca sang ahli bedah.
Hari itu Herman sedang melaksanakan tugas praktikum. Pada mulanya ia tidak melihat adanya seorang asisten di kamar bedah. Namun, ia memberanikan diri untuk menyayat kulit sesosok mayat. Tiba-tiba saja, telinganya menangkap suara seorang gadis yang bertanya. Paggilan gadis itu adalah Lita. Nama yang sebenarnya adalah May Kim Lian. Gadis Tionghoa itu telah lama menjadi asisten. Ia tinggal menyelesaikan beberapa mata pelajaran dari enam puluh mata pelajaran Ilmu Kedokteran. Di ruang bedah inilah Herman berkenalan dengan Lita. Herman sering mendapat bimbingan dari Lita. Seringnya pertemuan mereka itu, membuat perasaan Herman terpikat Bahkan, jika Lita tidak muncul di ruang praktikum, Herman merasa seperti ada sesuatu yang hilang.
Bagi Herman, tangan bukan hanya alat peraba dan perasa, tetapi juga merupakan jembatan perantara yang dapat merasakan kuat atau lemahnya, dingin atau hangatnya, tangan yang lain. Tangan merupakan jalinan keutuhan tersendiri. Oleh karena itu, Herman ingin sekali menjabat tangan Lita. Apalagi pada saat-saat kegembiraan, tatkala Lita dinyatakan lulus ujian akhir. Akan tetapi, kegembiraan Lita ternyata akhir dari perjalanan hidupnya. Sementara, Herman terus memacu keinginannya agar dapat berjabatan tangan dengan Lita. Barangkali sebagai ungkapan rasa gembiranya terhadap Lita, Herman pun ingin mengetahui sejauh mana perasaan Lita ketika tangan mereka berpautan. Namun sayang, Herman harus puas setelah ia melihat tubuh Lita yang terbaring di jalan. Sebuah kendaraan telah merenggut nyawa Lita untuk selama-lamanya. Mereka berpisah tanpa berjabatan tangan, tanpa dapat merasakan perasaan mereka masing-masing.
Bagi Herman, putusnya hubungan seseorang dengan dunianya bukan berarti tamatnya peran orang itu. Buat Herman, kematian Lita merupakan hal yang dapat memacu dirinya untuk terus melangkah. Lita telah tiada secara wujud, tetapi batinnya itulah yang tidak pernah akan berakhir. Pada mulanya Herman kurang bersemangat dalam melakukan pekerjaannya. Namun, lama-kelamaan semangat kerjanya pulih kembali. Menurutnya, semangat adalah sesuatu yang bersatu dengan jiwa sehingga tidak dapat dipadamkan.
Selanjutnya, Herman berkenalan dengan Gloria (Ria), mahasiswi kedokteran tingkat pertama. Hubungan Ria dengan Herman begitu akrab. Padahal orang tua (Ibu) Ria tak pernah senang melihat anak gadisnya berhubungan akrab dengan Herman, sekali pun Herman seorang dokter. Ibu Ria lebih senang jika anaknya memilih Trisno. Trisno adalah anak seorang pengusaha kaya raya sehingga seakan dapat di pastikan bahwa masa depan Trisno lebih baik daripada Herman.
Namun, cinta bukanlah sesuatu yang dapat dibanding-bandingkan dengan harta atau dengan jaminan hidup. Ria tetap memilih Herman sebagai kekasih yang amat dicintainya. Oleh karena itu, betapa pun sebelah mata Herman tidak berfungsi dengan baik, Ria tidak pernah menganggap hal itu sebagai suatu kelemahan atau kekurangan. Bahkan, saat sebelah mata Herman yang tadinya berfungsi baik, Ria justru semakin berusaha keras untuk meyakinkan kekasihnya bahwa penyakit itu dapat disembuhkan. Namun, Herman selalu menolak pertolongan Ria. Bahkan, Herman telah sampai pada keputusasaan. Untuk itu, ia memohon agar Ria mau melupakannya. Kemudian, Herman meninggalkan Ria dan tinggal di Bandung.
Ria ingin membuktikan ketulusan cintanya kepada Herman. Namun, Herman mengatakan sebaliknya. Justru jika Ria mau melupakan Herman, itulah sebenarnya bukti ketulusan cintanya. Ria tidak pantang menyerah. Segala upaya untuk menyembuhkan mata kekasihnya. Ia begitu yakin bahwa penyakit mata yang diderita kekasihnya dapat disembuhkan. Maka dengan segala daya upayanya, ia berhasil membujuk Herman dan membawanya ke Amerika untuk dioperasi. Pada operasi pertama dan kedua tidak membuahkan hasil. Herman semakin putus asa. Namun Ria tetap yakin, operasi ketiga ini akan berhasil. Kenyataannya, memang berhasil. Herman dapat melihat seperti semula.

Denpasar, Agustus 2012

Tidak ada komentar: