Herman, salah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran, begitu menggebu-gebu
perasaannya ketika ia dinyatakan lulus ujian tingkat pertama. Sebab,
selanjutnya ia harus menekuni pelajaran yang lebih mendalam di tingkat dua.
Akan tetapi, saat-saat ia mengikuti kegiatan belajar di tingkat dua, khususnya
terhadap mata kuliah Praktikum perasaannya menjadi gamang. Rasa gamang itu
dialaminya ketika ia berada di ruang bedah, berhadapan dengan tubuh manusia
yang telah terbaring kaku dan siap diporak-porandakan oleh tangan calon dokter.
Mayat-mayat itu umumnya adalah mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak
diambil oleh keluarganya, dan tidak seorang pun yang mau mengakuinya setelah
beberapa hari berada di kamar mayat. Maka untuk selanjutnya, bebaslah
tangan-tangan yang kelak akan menyandang dokter ahli bedah, menyobek atau
mengeluarkan isi tubuh sesuai dengan keperluan mereka. Disitulah Herman pertama
kali berkenalan dengan harga manusia; sebuah kepala (tengkorak) dapat
diperjualbelikan dengan harga hanya Rp 40,00 pada saat itu. Betapa tidak
berharganya manusia ketika tubuh telah terpisah dengan nyawa. Di samping itu,
mayat-mayat itu tidak pernah menyatakan protes, walaupun salah satu anggota
tubuhnya telah menjadi hiasan dalam sebuah lemari kaca sang ahli bedah.
Hari itu Herman sedang melaksanakan tugas praktikum. Pada mulanya ia
tidak melihat adanya seorang asisten di kamar bedah. Namun, ia memberanikan
diri untuk menyayat kulit sesosok mayat. Tiba-tiba saja, telinganya menangkap
suara seorang gadis yang bertanya. Paggilan gadis itu adalah Lita. Nama yang
sebenarnya adalah May Kim Lian. Gadis Tionghoa itu telah lama menjadi asisten.
Ia tinggal menyelesaikan beberapa mata pelajaran dari enam puluh mata pelajaran
Ilmu Kedokteran. Di ruang bedah inilah Herman berkenalan dengan Lita. Herman
sering mendapat bimbingan dari Lita. Seringnya pertemuan mereka itu, membuat
perasaan Herman terpikat Bahkan, jika Lita tidak muncul di ruang praktikum,
Herman merasa seperti ada sesuatu yang hilang.
Bagi Herman, tangan bukan hanya alat peraba dan perasa, tetapi juga
merupakan jembatan perantara yang dapat merasakan kuat atau lemahnya, dingin
atau hangatnya, tangan yang lain. Tangan merupakan jalinan keutuhan tersendiri.
Oleh karena itu, Herman ingin sekali menjabat tangan Lita. Apalagi pada
saat-saat kegembiraan, tatkala Lita dinyatakan lulus ujian akhir. Akan tetapi,
kegembiraan Lita ternyata akhir dari perjalanan hidupnya. Sementara, Herman
terus memacu keinginannya agar dapat berjabatan tangan dengan Lita. Barangkali
sebagai ungkapan rasa gembiranya terhadap Lita, Herman pun ingin mengetahui
sejauh mana perasaan Lita ketika tangan mereka berpautan. Namun sayang, Herman
harus puas setelah ia melihat tubuh Lita yang terbaring di jalan. Sebuah
kendaraan telah merenggut nyawa Lita untuk selama-lamanya. Mereka berpisah
tanpa berjabatan tangan, tanpa dapat merasakan perasaan mereka masing-masing.
Bagi Herman, putusnya hubungan seseorang dengan dunianya bukan berarti
tamatnya peran orang itu. Buat Herman, kematian Lita merupakan hal yang dapat
memacu dirinya untuk terus melangkah. Lita telah tiada secara wujud, tetapi
batinnya itulah yang tidak pernah akan berakhir. Pada mulanya Herman kurang
bersemangat dalam melakukan pekerjaannya. Namun, lama-kelamaan semangat
kerjanya pulih kembali. Menurutnya, semangat adalah sesuatu yang bersatu dengan
jiwa sehingga tidak dapat dipadamkan.
Selanjutnya, Herman berkenalan dengan Gloria (Ria), mahasiswi kedokteran
tingkat pertama. Hubungan Ria dengan Herman begitu akrab. Padahal orang tua
(Ibu) Ria tak pernah senang melihat anak gadisnya berhubungan akrab dengan
Herman, sekali pun Herman seorang dokter. Ibu Ria lebih senang jika anaknya
memilih Trisno. Trisno adalah anak seorang pengusaha kaya raya sehingga seakan
dapat di pastikan bahwa masa depan Trisno lebih baik daripada Herman.
Namun, cinta bukanlah sesuatu yang dapat dibanding-bandingkan dengan
harta atau dengan jaminan hidup. Ria tetap memilih Herman sebagai kekasih yang
amat dicintainya. Oleh karena itu, betapa pun sebelah mata Herman tidak
berfungsi dengan baik, Ria tidak pernah menganggap hal itu sebagai suatu
kelemahan atau kekurangan. Bahkan, saat sebelah mata Herman yang tadinya
berfungsi baik, Ria justru semakin berusaha keras untuk meyakinkan kekasihnya
bahwa penyakit itu dapat disembuhkan. Namun, Herman selalu menolak pertolongan
Ria. Bahkan, Herman telah sampai pada keputusasaan. Untuk itu, ia memohon agar
Ria mau melupakannya. Kemudian, Herman meninggalkan Ria dan tinggal di Bandung .
Ria ingin membuktikan ketulusan cintanya kepada Herman. Namun, Herman
mengatakan sebaliknya. Justru jika Ria mau melupakan Herman, itulah sebenarnya
bukti ketulusan cintanya. Ria tidak pantang menyerah. Segala upaya untuk
menyembuhkan mata kekasihnya. Ia begitu yakin bahwa penyakit mata yang diderita
kekasihnya dapat disembuhkan. Maka dengan segala daya upayanya, ia berhasil
membujuk Herman dan membawanya ke Amerika untuk dioperasi. Pada operasi pertama
dan kedua tidak membuahkan hasil. Herman semakin putus asa. Namun Ria tetap
yakin, operasi ketiga ini akan berhasil. Kenyataannya, memang berhasil. Herman
dapat melihat seperti semula.
Denpasar, Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar