Tidak ada yang pernah tahu dan menduga, perkenalanku dengan Khrisna Pabichara menemukanku dengan cerita kuno Bugis-Makassar yang mungkin selama 21 tahun aku tidak pernah ketahui sejak aku dilahirkan oleh ibunda ku yang keturunan asli Bugis Barru dan tentunya keluarga dari ibuku sendiri. Mungkin karena aku dibesarkan di kota Denpasar, mengikuti jejak orang tuaku merantau ke Bali.
Kumpulan
cerpen “Mengawini Ibu” justru aku baru tahu judulnya saja ketika adik kelas ku
di S1 dulu menunjukkan ada kumpulan cerpen bagus. Tapi Aku masih cuek. Setelah
itu ada penggalan dana untuk pengembangan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di
Jakarta, bertajuk “KOIN SASTRA” inilah aku kemudian mengenal sosok penulis. Ketika
kami berkomunikasi via Twitter dan kemudian bersua di Taman Ismail Marzuki
(TIM) untuk bersama-sama menyerahkan donasi Koin Sastra dari Fakutas Sastra
(sekarang Sastra dan Budaya) Universitas Udayana, Alamamaterku.
Ketika kami
janjian bertemu, bersama kawanku Ari Nurrohman, tak disangka tak dinyana,
Khrisna Pabichara alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sewaktu di Jeneponto
dan Makassar. Ini yang kemudian hubungan pertemanan kami makin akrab, seperti
senior dan junior. Pada saat pertemuan itu komunikasi kami intens soal sastra
dsb. Kemudian aku pun berkeinginan bisa segera mengundang Khrisna Pabichara
untuk berbicara di forum nasional IPM. Akhirnya, keinginanku bisa tercapai di
2013. Senang sekali rasanya ilmu dan pengalaman Khrisna Pabichara dalam dunia
tulis menulis bisa tersalurkan ke kawan-kawan IPM Se Indonesia.
Cerita di
atas, akupun belum sempat membaca buku kumpulan cerpen Mengawini Ibu ataupun
Gadis Pakarena, padahal kedua buku tersebut sudah muncul sejak 2010. Bagian ini
sungguh sangat menyesal.
Sejak
kuliah S2 di FIB UGM barulah, Akhir 2014 baru bisa bertemu dengan Gadis
Pakarena. Waktu itu buku di Yogyakarta sepertinya tinggal dua buah di toko buku
Togamas. Sudah bonus poster, entah kemana poster itu sekarang.
Khatam
membaca Gadis Pakarena, ya mungkin membacanya hanya sekedar hiburan semata,
bukan dalam rangka penelitian. Jadi setelah membaca ya sudah gitu aja.
Baru
ketika, proses ingin lanjut mengerjakan tesis, kemudian aku coba untuk memilih
gadis pakarena, dengan segala macam teori. Hingga tak kunjung selesai. Ternyata
di awal tahun 2015 sudah ada kakak kelas di UGM sudah menyelesaikan tesis
dengan mengambil cerpen Arajang. Nah sejak saat itulah, aku baru paham, apa itu
bissu, parakang, cerita cinta, silariang, siri, fungsi badik. Mungkin tanteku
dulu hanya sebatas menakut-nakuti kami (aku dan adikku) kalau tidak mau cepat
tidur dengan “awas ada tokek”, bukan “awas ada parakang ataupun Poppo”. Om ku
juga, pernah memberikan buku Manusia Bugis, dan sebilah Badik namun aku tidak
tahu fungsinya apa.
Di sinilah,
Aku baru melihat sisi kebugisan ku yang selama ini hanya terlihat dari hubungan
keluarga siapa sepupu ku, siapa tante ku, siapa om ku, siapa tetangga ibu dan
nenek ku. Dari kenal Khrisna Pabicharalah ku baru mengenal sisi magis dari
cerita-cerita yang mungkin sengaja atau tidak sengaja keluarga ku tidak pernah
menceritakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar